Rabu, 03 Februari 2010

BESI COR

Besi cor merupakan paduan Besi-Karbon dengan kandungan C diatas 2% (pada umumnya sampai dengan 4%). Paduan ini memiliki sifat mampu cor yang sangat baik namun memiliki elongasi yang relatif rendah. Oleh karenanya proses pengerjaan bahan ini tidak dapat dilakukan melalui proses pembentukan, melainkan melalui proses pemotongan (pemesinan) maupun pengecoran.

Dari warna patahan, dapat dibedakan 3 jenis besi cor yaitu Besi Cor Putih yang terdiri dari struktur ledeburit (coran keras), struktur campuran antara perlit dengan ledeburit yang disebut Besi Cor Meliert dan struktur perlit dan atau ferit serta ledeburit masih terdapat sejumlah unsur karbon dalam bentuk koloni grafit yang disebut Besi Cor Kelabu.

Jenis dari ketiga besi cor tersebut sangat tergantung dari kandungan dan komposisi antara C dan Si serta laju pendinginannya, dimana laju pendinginan yang tinggi akan menghasilkan struktur besi cor putih sedangkan laju pendinginan yang lambat akan menghasilkan pembekuan kelabu.

Gambar 1 memperlihatkan patahan dari sebuah sampel besi cor yang dicor sebagian pada media cetak logam dan sebagian lainnya pada media cetak pasir.



Gambar 1. Patahan sampel besi cor media cetak berbeda.

Didaerah ujung kiri sampel, karena pada bagian tersebut merupakan media cetakan logam akan membeku secara cepat dan menghasilkan struktur ledeburit yang keras, sedangkan didaerah ujung kanan yang menggunakan media cetak pasir yang menghasilkan laju pembekuan lambat menghasilkan struktur kelabu. Didaerah tengah yang merupakan daerah transisi keduanya terdapat struktur meliert.

Paduan biner Besi-Karbon pada pendinginan normal akan membeku secara metastabil sehingga pada pada komposisi hipoeutektik akan menghasilkan struktur ledeburit (perlit + sementit sekunder), sedangkan pada komposisi hipereutektik terdiri dari sementit primer dan ledeburit. Barulah pada laju pendinginan yang amat sangat lambat, atau dengan kandungan Si yang cukup tinggi, pembekuan akan berlangsung secara stabil, dimana sementit (Fe3C/besikarbida) pada temperatur tinggi akan terurai sebagai berikut:

Fe3C –> 3Fe + C

Dalam hal ini C merupakan unsur elementer yang berkoloni membentuk grafit (penggrafitan tak langsung), serta tidak menutup kemungkinan bahwa grafit telah pula terbentuk langsung dari cairan (penggrafitan langsung). Dengan demikian paduan tidak lagi menganut sistem Besi-Besikarbida, melainkan Besi-Grafit.

Pada kenyataannya, dikarenakan oleh berbagai hal, kristalisasi dari besi cor kelabu berlangsung tidak demikian, dan bagian-bagian dari struktur tidak dapat dengan mudah dibatasi sebagaimana pada besi cor putih.

Akibat dari terjadinya undercooling, terdapat sebagian kecil dari karbon yang tertransformasi menjadi besikarbid setelah sebagian besar dari cairan tertransformasi menjadi besi dan grafit. Pembentukan grafit sangat tergantung dari jumlah inti-inti grafit. Sementara itu grafit memiliki kecenderungan kuat untuk saling mengelompok serta menjadi bentuk lembaran-lembaran grafit.

Sistem Metastabil (Fe-Fe3C)


Sistem Stabil (Fe-C)
Ledeburit (austenit + sementit) Grafit eutektik (austenit + grafit)
Perlit (ferit + sementit) Grafit eutektoid (ferit + grafit)
Sementit primer (sepanjang garis CD) Grafit primer (sepanjang garis C’D')
Sementit sekunder (sepanjang garis SE) Grafit segregat (sepanjang garis S’E')

Tabel 1. Perbandingan struktur pada sistem metastabil dengan stabil

Peristiwa ini terjadi pada saat sisa cairan mencapai konsentrasi eutektiknya yang diikuti dengan segregasi grafit, dimana pada stiap laju pendingainan yang lebih rendah, maka pertumbuhan lembaran grafit tersebut akan semakin kasar, bahkan hingga menjadi grafit batas butiran.



Gambar 2. Grafit eutektik pada besi cor kaya Si.

Non-etsa.








gambar 3Gambar 3. Grafit batas butiran.

Non-etsa.

Grafit yang halus dapat dicapai pada besi cor dengan kandungan Si sangat tinggi (lebih kurang 4%) dan melalui proses pendinginan yang cepat. Selain dari itu, perlakuan-perlakuan peleburan maupun karena pengaruh dari terdapatnya unsur-unsur lainnya dapat pula mempengaruhi pertumbuhan dari grafit. Suatu penahanan yang lama pada temperatur diatas Tliq akan menyebabkan terjadinya pengahalusan grafit sebagai akibat dari penghancuran kumpulan grafit.

Kandungan P yang tinggi didalam besi cor (sekitar 1.5%) akan menyebabkan terbentuknya grafit Nester, sebagai akibat dari segregasi unsur P, sedangkan pembubuhan unsur Mg akan mengakibatkan grafit tumbuh dalam bentuk bulat.


Gambar 4. Grafit Nester pada besi cor kaya P. Non-etsa.












gambar 5Gambar 5. Pembulatan grafit akibat pembubuhan unsur Mg.

Non-etsa.

Bentuk-bentuk grafit dinyatakan dengan angka romawi I sampai dengan VII sebagaimana ditunjukkan pada gambar 6 dan 7.






Gambar 6. Standar bentuk grafit menurut VDG-Merkblatt P441.









Gambar 7. Standar bentuk grafit menurut ASTM-Spezifikation A 247.

(I = Grafit Bulat, IV = Grafit Vermikular, VII = Grafit Lamelar)

Sedangkan sebaran grafit khususnya untuk bentuk I dinyatakan dengan huruf kapital A sampai E sebagaimana ditunjukkan pada gambar 8.






Gambar 8. Standar sebaran grafit menurut VDG-Merkblatt P441.

Grafit A : Grafit eutektik lamelar (grafit lamelar yang tersebar secara merata dan seragam).
Grafit B : Grafit mawar (Rosette).
Grafit C : Grafit kasar (grafit primer) yang tersebar diantara grafit-grafit eutektik. Umumnya terdapat pada komposisi besi cor hipereutektik.
Grafit D : Grafit interdenditrik (grafit undercooling). Umumnya terjadi pada komposisi besi cor hipoeutektik.
Grafit E : Grafit interdendritik yang terurai. Umumnya terjadi pada komposisi besi cor hipoeutektik.

Secara umum proses pembekuan dari besi cor dengan kandungan C antara 2% sampai 4% adalah sebagai berikut: Dari cairan (kemungkinan pada saat ini telah terdapat inti-inti grafit) akan terbentuk kristal g-primer yang dengan demikian konsntrasi C didalam sisa cairan akan meningkat menuju kekomposisi eutektik. Sisa cairan kemudian akan tertransformasi secara eutektik menjadi ledeburit dan sejumlah grafit.

Pada pendinginan selanjutnya sementit pada ledeburit akan tertransformasi menjadi austenit dan grafit dan untuk selanjutnya grafi-grafit akan tersegregasi keluar dari austenit (serpanjang garis E’S’ diagram biner Besi-Karbon). Grafit-grafit sekunder ini terbentuk menempel pada grafit primer yang oleh karenanya tumbuh semakin besar.

Akhirnya, pada pendinginan stadium 3, terjadilah transformasi eutektoid dimana kristal g (austenit) akan berubah menjadi perlit. Ketika pendinginan berlanjut (temperatur sesaat setelah 720 oC), sebagian dari perlit juga akan terurai menjadi ferit dan grafit yang sebagaimana grafit terdahulu tumbuh menempel pada grafit-grafit yang telah ada, sehingga akhirnya ferit yang terbentuk akan selalu berada disekitar grafit (awan ferit).

Hal yang sangat penting sehubungan dengan struktur dasar (matriks) besi cor adalah pengaruh unsur Si terhadap besikarbida (Fe3C), dimana Si akan mengakibatkan besikarbida terurai menjadi besisilikat dan karbon (grafit) sebagaimana reaksi berikut:

Fe3C + Si –> Fe3Si + C

Kandungan Si yang tinggi memiliki pengaruh yang mirip dengan kandungan C yang dinaikkan serta mengakibatkan perlambatan laju pendinginan sehingga mengarah ke sistim stabil Besi-Grafit.



gambar 9. Diagram besi cor menurut Maurer.

Maurer mengembangkan suatu diagram besi cor dengan kandungan C dan Si berbeda-beda pada suatu laju pendinginan tertentu (yaitu pada spesimen cor diameter 30 mm) yang memperlihatkan perbedaan matriks pada setiap kandungan C dan Si.

Kandungan C dan si yang rendah akan menyebabkan terjadinya pembekuan putih dengan struktur ledeburitnya (gambar 10). Peningkatan kandungan Si akan menyebabkan struktur yang terjadi adalah perlit dengan sebaran grafit lamelar diantaranya (gambar 11).


Gambar 10. Besi cor putih.

(Ledeburit + perlit)











Gambar 11. Besi cor perlitik.

(Perlit + grafit)





Apabila kandungan Si lebih tinggi lagi, maka akan diperoleh struktur besi cor ferit-perlit dan grafit (gambar 12). Sedangkan pada kandungan C tinggi dengan Si rendah akan terjadi struktur meliert yang terdiri dari ledeburit, perlit dan sedikit grafit (gambar 13).



Gambar 12. Besi cor ferit-perlit.

(Ferit+perlit+grafit dan steadit)











Gambar 13. Besi cor meliert.

(Ledeburit+perlit+grafit)

Sebaliknya dari unsur Si yang menyebabkan stabilitas besikarbida menurun, maka unsur Mn justru meningkatkannya. Stabilitas karbida menjadi tinggi dengan terbentuk sebagai karbida campuran (Fe, Mn)3C. Oleh karena itu kandungan Mn didalam besi cor dibatasi antara 0.3% – 1.2%. Adanya Mn didalam besi cor akan mebuat karbida dalam perlit menjadi halus akibat dari berkurangnya transformasi g/a. Kandungan Mn yang semakin tinggi, sebagaimana pada baja, akan membentuk struktur menjadi martensit atau bahkan austenit.

Kandungan unsur S (belerang) dalam besi cor diijinkan hingga 1.2%. Tidak seperti halnya pada baja, unsur ini tidak berpengaruh terlalu penting, mengingat kandungan Mn yang cukup tinggi dapat mengingat unsur S ini menjadi MnS (mangansulfid) yang tidak berpengaruh buruk.

Kandungan P pada besi cor normal diijinkan sebesar 0.1% – 0.6%. Unsur ini memiliki efek meningkatkan fluiditas besi cor cair sehingga mampu mengisi rongga-rongga cetakan yang tipis, serta meningkatkan ketahanan geseknya. Besi g (austenit), Fe3C dan Fe3P pada temperatur 950 oC akan membentuk eutektikum yang disebut Pospideutektikum (steadit) yang mengandung 2.4% C dan 6.89% P. stedit inilah yang menyebabkan besi cor menjadi tahan terhadap beban gesek.


Gambar 14. Steadit didalam struktur besi cor perlitik.












Gambar 15. Stedit kasar didalam struktur besi cor perlitik.

Selasa, 02 Februari 2010

TANUR INDUKSI



1. Pendahuluan.
Penggunaan tanur induksi di industri pengecoran logam dewasa ini telah semakin berkembang. Hal ini terutama karena tanur induksi menjanjikan beberapa kelebihan antara lain:




* Hasil peleburan bersih.
* Mudah dalam mengatur/mengendalikan temperatur.
* Komposisi cairan homogen.
* Efisiensi penggunaan energi panas tinggi.
* Dapat digunakan untuk melebur berbagai jenis material.

Namun demikian terdapat pula hambatan/kendala yang perlu diperhatikan yaitu:

* Infestasi biaya beban tetap yang cukup besar menuntut loading yang tinggi.
* Biaya operasi yang besar menuntut tingkat kegagalan yang rendah.
* Dibutuhkan operator maupun teknisi berpengalaman dalam mengoperasikannya.
* Tingkat bahaya besar, mengingat tanur ini menggunakan enerji listrik yang sangat besar.
* Biaya perawatan besar.

Dengan demikian walaupun tanur induksi menjanjikan banyak keuntungan namun menuntut perlakuan dan pengoperasian yang BENAR meliputi:

* Keterampilan operator.
* Penggunaan bahan baku dengan spesifikasi jelas.
* Preventive maintenance yang intensiv.

2. Prinsip proses peleburan dengan tanur induksi.

Tanur induksi bekerja dengan prinsip transformator dengan kumparan primer dialiri arus AC dari sumber tenaga dan kumparan sekunder. Kumparan sekunder yang diletakkan didalam medan mahnit kumparan primer akan menghasilkan arus induksi. Berbeda dengan transformator, kumparan sekunder digantikan oleh bahan baku peleburan serta dirancang sedemikian rupa agar arus induksi tersebut berubah menjadi panas yang sanggup mencairkannya.

Sesuai dengan frekuensi kerja yang digunakan, tanur induksi dikatagorikan sebagai tanur induksi frekuensi jala-jala (50 Hz – 60 Hz) dengan kapasitas lebur diatas 1 ton/jam dan tanur induksi frekuensi menengah (150 Hz – 10000 Hz) untuk tanur dengan kapasitas lebur rendah.

Frekuensi jala-jala pada tanur induksi frekuensi menengah diubah terlebih dahulu dengan menggunakan thyristor menjadi freukensi yang lebih tinggi sebelum dialirkan kekumparan primer.


gambar-16-rSkema tanur induksi frekuensi menengah2.

Secara umum tanur induksi terdiri dari 2 jenis yaitu:

* Tanur induksi jenis saluran, yang digunakan sebagai holding furnace (hanya berfungsi untuk menahan temperatur cairan agar tidak turun).
* Tanur induksi jenis krus, yang digunakan sebagai tanur peleburan.

gambar 2Prinsip pemanasan tanur induksi jenis saluran2.

Pemanasan hanya dilakukan pada bagian saluran cairan. Bahan cair yang panas akan bergerak keatas, sedangkan bahan cair yang dinggin bergerak kebawah mengisi saluran. Dengan demikian cairan didalam tanur akan mengalami sirkulasi.


gambar 3Potongan melintang tanur induksi jenis saluran2.












gambar 41Prinsip pemanasan tanur induksi jenis krus2.









gambar 5Potongan melintang tanur induksi jenis krus2.

Tanur induksi jenis krus dikonstruksi sedemikian rupa disesuaikan dengan ukuran dan jenis bahan yang dilebur, sehingga terdapat tanur induksi frekuensi jala-jala, tanur induksi frekuensi menengah dan tanur induksi frekuensi tinggi.




gambar 6Daerah kerja frekuensi terhadap kapasitas muat tanur2.

Hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih frekuensi kerja tanur induksi adalah hubungannya dengan ukuran minimum bahan baku yang dapat ditembus oleh frekuensi tersebut, sebagai berikut:



dimana;
δ = kedalaman penetrasi elektromagnetik [m].

K = Konstanta bahan baku.

f = Frekuensi kerja [Hz].

Ukuran minimum bahan baku yang dapat dilebur tanpa bantuan cairan adalah:

D = 3,5 x δ

Oleh Brown Bovery Co. ditabelkan sebagai berikut.


Min bahan bakuDimensi minimum bahan baku [mm]
Dengan demikian bahan baku peleburan pada tanur induksi dengan frekuensi kerja terpasang yang memiliki dimensi lebih kecil dari harga yang tertulis pada tabel diatas, harus dilebur dengan bantuan sisa cairan didalam tanur.

Pada tanur induksi frekuensi jala-jala (50 Hz), mengingat dimensi bahan baku minimumnya sedemikian besar, maka peleburan pertama selalu dimulai dengan bahan berukuran besar sebagai starting-block serta selalu disisakan sekurang-kurangnya 1/3 cairan didalam tanur untuk membantu proses peleburan berikutnya.

Akibat dari adanya arus induksi yang terus menerus mengalir didalam cairan maka akan terjadi pergerakan cairan yang disebut sebagai stirring. Kualitas dan kuantitas stirring ditentukan oleh tinggi atau rendahnya frekuensi kerja dan jumlah fasa listrik yang digunakan.


gambar 7Stirring pada 1 fasa (a) dan 3 fasa (b).

Sedangkan frekuensi kerja yang semakin rendah akan mengakibatkan stirring secara kualitatif menjadi semakin besar namun kuantitatif sedikit sehingga akan muncull sebagai gejolak cairan. Frekuensi kerja yang semakin tinggi akan mengakibatkan stirring yang terjadi kecil namun merata disetiap bagian dari cairan, sehingga cairan akan tampak lebih tenang.

3. Pemuatan bahan peleburan.

Proses peleburan dengan tanur induksi akan semakin efisien bila menggunakan bahan baku yang masif (berukuran besar) dan kompak. Keuntungan yang diperoleh dari bahan masif adalah:

1. Bahan yang dilewati oleh medan induksi lebih banyak sehingga menghasilkan enerji panas yang lebih besar.
2. Permukaan bahan yang bersentuhan dengan udara sedikit sehingga mengurangi efek oksidasi.
3. Bahan homogen dengan komposisi yang serupa sehingga mengurangi faktor kesalahan peramuan.
4. Mengurangi kemungkinan bahan asing dan kotoran ikut terbawa pada saat pemuatan sehingga lebih dapat menjamin pencapaian komposisi yang dikehendaki serta mengurangi terak ataupun bahaya-bahaya lain yang ditimbulkannya.

Ketersediaan cairan didalam tanur juga akan dapat meningkatkan kecepatan peleburan. Maka dalam hal pemuatan bahan kedalam tanur indsuksi berlaku urutan sebagai berikut:

Tanur induksi frekuensi jala-jala:

1. Sarting blok untuk awal peleburan.
2. Sisa cairan, yaitu 1/3 dari kapasitas tanur untuk peleburan lanjutan.
3. Besi kasar.
4. Bahan daur ulang.
5. Besi bekas.
6. Baja bekas.
7. Carburisher (bersama baja bekas).
8. Bahan paduan, dimana padfuan dengan kehilangan terbakar (melting loss) tinggi dimuatkan paling akhir.

Poin 1 merupakan tuntutan wajib bagi tanur induksi frekuensi jaringan, sebab tanpa starting block proses peleburan tidak dapat berlangsung. Sedangkan poin 2 adalah upaya untuk meningkatkan efisiensi enerji peleburan. Poin 3 sampai 8 merupakan urutan prioritas bila bahan-bahan tersebut digunakan.

Tanur induksi frekuensi menengah dan tinggi:

1. Sarting blok untuk awal peleburan (bila tersedia).
2. Besi kasar.
3. Bahan daur ulang.
4. Besi bekas.
5. Baja bekas.
6. Carburisher (bersama baja bekas).
7. Bahan paduan, dimana padfuan dengan kehilangan terbakar (melting loss) tinggi dimuatkan paling akhir.

Poin 1 lebih baik dilakukan walaupun tanpa sarting blok proses peleburan dengan tanur induksi frekuensi menengah sampai tinggi tetap dapat dilakukan. Sedangkan poin 2 sampai 7 merupakan urutan prioritas bila bahan-bahan tersebut digunakan.

Rangkuman.

1. Tanur induksi digunakan pada proses peleburan besi, baja cor dan sedikit nonferro.
2. Enerji peleburan diperoleh dari bahan bakar listrik.
3. Tanur induksi terdiri dari dua jenis yaitu jenis saluran (untuk proses penahanan temperatur) dan jenis krus (untuk proses peleburan).
4. Ukuran bahan baku sangat ditentukan oleh frekuensi kerja tanur induksi.
5. Kualitas peleburan sangat ditentukan oleh lining tanur induksi.

Efisiensi peleburan akan naik bila bahan baku yang digunakan berukuran besar dan masif (kompak).